Kehilangan adalah resiko terbesar dari mencintai.
Layaknya perasaan yang mati di dalam hati. Sudah berapa kali kutegaskan padamu
soal ini? Mengapa kau tak kunjung mengerti? Bukannya aku takluk pada masa lalu.
Namun, bagian terbaik dari patah hati adalah belajar dari peristiwa yang pernah
terjadi.
Kini, haruskah aku kehilangan untuk kesekian kali? Kembali
meretas sepi dalam keramaian yang terjadi? Kemudian beradu pilu pada luka yang
mengiris hati? Mengapa kehilangan selalu menjadi hadiah terindah dari sosok
yang kucintai?
Bibirku melengkung, membentuk sebuah senyum simpul.
Memutar kembali segenap cerita yang tengah mengepul. Ketika seberkas sinar
datang menyapa dalam gelapku. Membuatku bangkit dalam keadaan jiwa yang tengah
rapuh. Senyum terindah, yang belum pernah lagi kulihat sejak aku kehilangan
permataku. Tawa termanis, yang sepertinya takkan pernah membuat hati teriris.
Aku kembali menaruh harap, kembali mengumpulkan kepingan
hati yang telah luluh lantak tak tersisa. Kembali mencipta tawa, sembari melupa
apa yang pernah terjadi sebelumnya. Dalam harapku, ada seuntai doa yang tak
lepas kupanjatkan pada tuhanku. Semoga kali ini, tak akan ada lagi hadiah terindah
yang diberikan oleh poros duniaku.
Kamu, adalah wanita terindah yang tuhan ciptakan untukku.
Alasan aku masih bernapas hingga saat ini. Kekuatan terhebat, yang mampu
kalahkan letihku. Penyemangat terkuat, saat rapuh tengah hadir menyapa dalam
kesunyianku. Aku mohon sekali lagi, jangan pernah menjadi penghancur harap yang
kau berikan sendiri.
Ketika aku mengatakan hal semacam itu untuk kesekian
kali, kau selalu menjawabnya dengan perkataan yang menenangkan hati.
Benar-benar bidadari yang layak kuperjuangkan sampai mati. Kutegaskan sekali
lagi, aku tak mau lagi terlukai, apalagi terjerat sendu tak bertepi, yang
disebabkan oleh orang yang amat kucintai.
Senja selalu menjadi penghantar cerita berurai tawa.
Bersama candaan sederhana, aku melihat wajahmu dengan penuh suka cita. Lentik
matamu berkedip, mengusir debu yang hendak mengintip. Tawa tak pernah lepas
dari wajah sehangat senja yang selalu kita nikmati bersama.
Terkadang
aku berpikir, sepertinya senja memilih undur diri, sebab merasa kurang percaya
diri bersanding dengan senyuman seindah mentari pagi. Bidadari tak bersayap
yang berada di sebelahku dengan senyum manis tanpa glukosa. Kecantikan yang tak
dibuat-buat, membuat hatiku terjerat.
Keinginan
memiliki membuatku selalu ingin bersama dalam setiap masa. Merasa jarak adalah
pemisah paling tega, yang membuat hatiku gelisah dibuai jelaga. Membuat waktu
rasanya tak pernah berbaik hati dengan membiarkanku berlama-lama bersamamu.
Membuat senja menjadi hal paling berarti yang selalu kutunggu di setiap hari.
Di
bawah sinar jingga kemerahan, aku menulis cerita bahagia kita. Dengan tak lupa
menaruh doa, agar mampu bersama denganmu untuk selama-lamanya. Agar kita
senantiasa menjadi satu kata penuh makna. Berhias janji setia, sehidup semati
selamanya.
Aku
sungguh mencintai sepenuh hati, juga tak bosan bersahabat dengan harap tak
pasti. Kamu adalah keraguan yang aku nyatakan. Impian yang aku semogakan.
Keajaiban yang aku harapkan. Hingga berujung sakit hati yang kunikmati.
Ya,
lagi-lagi aku hanyalah menjadi sebuah ambisi bagi peri kecil tak punya hati. Pelangi
yang mengkhianti janji. Pendusta yang tak mengerti arti setia. Lagi-lagi aku
kalah dalam percintaan yang kuperjuangkan. Kembali memungut sisa senyum yang
terhampar oleh jingga. Mencari jejakmu dalam sebersit ingatan yang menjelma
menjadi penyesalan.
Apakah
aku tak pantas untuk dicintai setulus hati? Apa yang salah dengan diri ini?
Kenapa lagi-lagi aku hanya menjadi sebuah ambisi? Sosok yang kau kejar
mati-matian. Namun, kau campakan ketika sudah kau dapatkan. Sebesar apakah
kepuasan yang kau dapatkan, ketika mencampakanku dengan begitu kejam?
Semenyenangkan
apa mengejarku sebagai sebuah ambisi yang harus kau penuhi? Apakah aku hanya
menjadi pion kecil dalam permainanmu? Apakah aku hanya mampu menjadi pemimpi yang
tak pernah dibiarkan untuk tercipta nyata? Tak pernah adakah aku dalam daftar
orang yang kau cintai setulus hati?
Apa
salahku pada hidup yang kujalani? Mengapa sosok yang kucintai selalu memberikan
hadiah terindah berulang kali? Aku sudah bosan menerimanya, sudah enggan
berurusan dengan kecewa, sudah bosan mencoba dan akhirnya terlukai berulang
kali. Jika nantinya akan pergi, mengapa harus mencintai dan mengucap janji?
Kopi
pahit bahkan terasa jauh lebih nikmat daripada patah hati berulang kali.
Mengenangmu tak pernah seindah mengurai duka dengan lara. Hujan tak pernah
seindah senja yang kunikmati bersama bayangmu. Peri kecil yang hanya
menganggapku sebagai ambisi semata,seseorang yang amat ingin kau dapatkan dan
kau campakan secara bersamaan.
Sebenarnya,
apa itu ambisi? Apakah berupa sebuah ilusi hati yang membutakan nurani? Mengapa
aku selalu berurusan dengan patah hati? Apakah aku tak pantas untuk dicintai?
Tak usah membuatku merasa tinggi hati, jika berujung pergi tanpa balas janji.
Berulang
kali aku bercerita tentang masa lalu yang membuatku terpuruk dalam sendu.
Tentang bagaimana aku tak lagi bersemangat untuk kembali jatuh hati. Tentang
bagaimana aku patah hati untuk kesekian kali. Juga tentang bagaimana wanita
yang kucintai hanya menganggapku sebagai sebuah ambisi.
Kau
menyikapi semua kataku dengan seksama. Berbagai pengertian coba kau utarakan.
Membuat hati ini yakin bahwa kau adalah rumah untuk hatiku pulang di kala senja
sedang menampakkan pesonanya. Begitu juga menjadi tempat hatiku memulai hari,
ketika mentari menebarkan segenap energi.
Wajah
yang akan selalu aku lihat setiap hari. Sejak pagi, hingga menjelang malam
hari. Dengan tak bosan menguntai bahagia dengan cara yang sederhana. Sebuah
rumah kecil akan menjadi tempat kita mengukir segala cerita yang akan di kenang
sepanjang masa. Nama kita akan selalu menjadi pembicaraan anak cucu kita nanti.
Lagi-lagi
aku menyadari, semua itu hanyalah mimpi. Sebuah janji yang pernah kita ucap di
bawah senja yang menenggelamkan mentari. Kala itu, bahuku adalah tempat
bersandar ternyaman bagimu. Tempat kau bergelayut manja, hingga menangis
tersedu. Aku terhimpit masa lalu, meraba hangat yang masih terasa di sana.
Bayangan tentangmu serta-merta datang menghampiri. Apakah aku merindu? Ataukah
hanya sebuah ilusi hati yang membeku?
Mengingat
masa lalu, menyadarkanku tentang satu hal berarti. Aku pernah menjadi poros
duniamu, pernah menjadi alasan bahagiamu, pernah menjadi tempat bersandar
paling hebat yang mampu membuatmu nyaman sepanjang saat, juga menjadi tempat
hatimu pulang dengan berjuta cerita yang tak pernah bosan kita tertawakan
bersama.
Denganmu,
bahagia menjadi sangat sederhana. Semua bukan tentang materi, fisik, ataupun
jabatan yang kupunya. Hanyalah sekedar kebersamaan yang terjalin dengan
istimewa. Tawamu menjadi kewajiban yang harus selalu kuciptakan. Karena tugasku
adalah memastikan bahwa hidupmu akan selalu diliput dengan bahagia. Tak apa aku
menjadi debu, agar kau tak perlu mengenal sendu.
Melepas
cinta, agar tetap merasa bahagia. Mengecap duka, walau hati tak terima. Aku
terlalu risih untuk diberi kasih. Terlalu sensitif bersamamu yang primitif.
Hingga terlalu kecewa untuk kembali jatuh cinta. Sebenarnya, apa yang kau
mengerti tentang cinta? Tentang janji setia, hingga bahagia bersama selamanya?
Aku terluka, untuk melihatmu bahagia.
Berapa
harga yang harus kubayar untuk layak diperjuangkan? Berapa kali lagi harus
merasa patah hati agar layak dicintai? Aku sudah begitu bosan, jika harus
selalu menjadi alasan sebuah ambisi. Sosok yang begitu diinginkan dan
dicampakan secara bersamaan. Apa aku memang tak pernah pantas untuk dicintai
setulus hati?
Padamu
hati, bersahabatlah dengan harap tak pasti. Karena kita selalu terpaut oleh yang
namanya ambisi, teman setia dari patah hati. Silahkan nikmati perih berulang
kali, yang diciptakan oleh peri kecil yang amat kau cintai.
-TAMAT-
